Bombastis Bank NTT pernah untung 1 T dari transaksi Surat Berharga, mungkinkah tersesat
Eddy Ngganggus |
Oleh ; Eddy Ngganggus
Diberitakan media Selatan Indonesia tanggal 14 Juni 2022, dibawah judul Bank NTT pernah Untung Rp 1 Triliun di Transaksi Surat Berharga, 50 M itu Risiko Bisnis. Atas judul ini saya ingin urun rembuk pikiran berikut ;
Ada yang perlu di perjelas lagi dari pernyataan kuasa hukum pak Apolos, soal pernyataan
“Sama halnya transaksi dengan PT. SNP Finance sesuai prosedur, metode dan cara yang sama PT. BPD NTT telah mendapatkan keuntungan kurang lebih Rp 1.000.000.000.000, (Satu Triliun Rupiah). Dan pada tahun 2018 baru terjadi resiko bisnis dengan PT. SNP Finance senilai Rp 50.000.000.000,”
Keuntungan 1 T dari surat berharga , memiliki formula “ Pendapatan – biaya = Untung “
Berapa besarkah pendapatan dan biaya dari transaksi surat berharga jenis obligasi yang diterbitkan oleh bank NTT dan berapa besar pendapatan dan biaya jenis MTN yang dibeli bank NTT sejak tahun 2011. Oleh kuasa hukum bank NTT keuntungan dari surat berharga di satukan ,padahal di dalamnya ada 2 jenis yakni obligasi dan MTN. Pernyataan ini berpotensi contradiction in terminis . Keuntungan dari surat berharga di komparasi dengan kerugian MTN pada tahun 2018. Ini dua hal yang berbeda , meskipun makna kedua jenis transaksi surat berharga ini sama-sama mendatangkan pendapatan atau income bagi bank NTT. Namun baiklah dipahami bahwa sumber pendapatan kedua investasi ini berbeda ,karena MTN itu ada pada sisi Aktiva , sedangkan Obligasi berada pada sisi Passiva. Obligasi menimbulkan kewajiban dari bank NTT , sedangkan MTN mendatangkan hak bagi bank NTT . Ini artinya Investasi dana berupa MTN pada PT SNP adalah harta bank yang ada pada pihak kedua yakni PT SNP, dan dari situ pihak kedua (dalam hal ini PT SNP) timbul kewajiban untuk membayar kembali pokok dan bunga (cuopon rate) kepada bank NTT. Sedangkan Obligasi adalah surat berharga yang diterbitkan oleh bank NTT dalam rangka mendapatkan tambahan dana segar untuk memperkuat struktur liquiditas bank NTT. Dengan demikian obligasi ini bisa di samakan dengan harta pihak ke dua yang dipinjam oleh bank NTT ,sehingga timbul kewajiban dari bank NTT untuk membayar kepada pihak kedua berupa pokok dan bunganya. Dana dari hasil penjualan obligasi ini ,lalu digunakan bank NTT untuk disalurkan dalam bentuk kredit kepada debitur. Dari pinjaman inilah bank NTT memperoleh bunga pinjaman sebagai sumber pendapatan bank, yang digunakan untuk membayar bunga kepada pihak pembeli obligasi dan sisanya menjadi income atau sumber pendapatan bank. Kedua model transaski ini mengandung profile risiko yang berbeda, jika risiko MTN terekspose pada ada tidaknya kemampuan si penerbit MTN untuk mengembalikan dana yang diberikan bank NTT, sedangkan pada obligasi risikonya terekspose pada ada tidaknya kemampuan bank NTT untuk mengembalikan dananya kepada pihak pembeli obligasi bank NTT baik pokok maupun bunganya. Ulasan ini menjadi penting untuk menjelaskan duduk persoalan argument kuasa hukum bank NTT yang berjudul Bank NTT pernah Untung Rp 1 Triliun di Transaksi Surat Berharga, 50 M itu Risiko Bisnis . Jadi tidak tepat jika risiko MTN dan untung 1 T dari surat berharga di komparasi seperti itu.
Berikut Investasi MTN adalah satu-satunya dan pertama kalinya investasi surat berharga oleh bank NTT kepada pihak corporasi non bank yang adanya pun atau transaski pertama kali baru pada tahun 2018, apesnya hal itu serta merta langsung gagal bayar sebesar Rp 60 M terdiri dari Pokok 50 M dan bunga atau coupon Rp 10,5 M. Sedangkan obligasi sudah beberapa kali dilakukan bank NTT dan puji Tuhan semuanya berjalan lancar alias tidak ada yang macet.
Idealnya yang urgen di gagas bersama publik saat ini adalah :
1. Bersama APH (Aparat Penegak Hukum) menelusuri apakah PT SNP masih mampu mengembalikan dana bank NTT yang dipakainya ? Jika mampu bagaimana mekanismenya, jika tidak mampu bagaimana konsekuensinya.
2. Apakah LHP BPK itu berkategori BJR atau tidak. Jangan sampai bank NTT kekeh mengatakan ini BJR, karena dengan demikian Bank NTT seolah berhadap-hadapan muka dengan BPK ini indikasinya seakan menolak hasil LHP BPK yang sudah pernah di terima dan di tandatangani oleh Dirut sebelumnya yakni Bapak Izhak Eduard ,S.Kom bahwa Bank NTT sependapat dengan LHP BPK tersebut.
3. APH segera bertidak menindaklanjuti temuan yang ada di dalam LHP BPK tersebut agar jangan sampai menggelinding terlalu lama, karena implikasinya bagi publik NTT akan terus menjadi obyek adu argument yang outpunya bisa berada di jalan yang benar , bisa juga berada di jalan yang salah ataupun mungkin juga bisa tersesat di jalan yang benar.
4. Bersama-sama dengan publik melakukan synergi gagasan secara “jujur” untuk menyelamatkan uang rakyat agar bisa di kembalikan dan kemudian berupaya untuk jadikan Investasi MTN dengan sejumlah temuan BPK sebagai pelajaran agar tidak di ulangi lagi di masa mendatang. Dengan demikian NTT yang di stigmatisasi sebagai propinsi yang rakyatnya “miskin & bodoh” sama-sama kita perangi menuju NTT yang rakyatnya makmur dan sejahtera. Karena sejatinya tidak semua rakyat NTT itu miskin dan bodoh. Masih ada sejumlah orang NTT yang tidak berada di kategori itu. Niscaya *)