Foto : Advokat Herry F.F. Battileo, S.H.,M.H |
Oleh : Herry F.F. Battileo, S.H.,M.H
A1-Channel.com --- Pada dasarnya kesatuan masyarakat hukum adat terbentuk berdasarkan tiga prinsip dasar, yaitu genealogis, teritorial, dan/atau gabungan genealogis dengan teritorial. Yang diatur dalam Undang-Undang UU No. 6 tahun 2014 tentang desa adalah kesatuan masyarakat hukum adat yang merupakan gabungan antara genealogis dan teritorial.
Berkaitan dengan hal itu, negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Implementasi dari kesatuan masyarakat hukum adat tersebut telah ada dan hidup di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, seperti huta/nagori di Sumatera Utara, gampong di Aceh, nagari di Minangkabau, marga di Sumatera bagian selatan, tiuh atau pekon di Lampung, desa pakraman/desa adat di Bali, lembang di Toraja, banua dan wanua di Kalimantan, dan negeri di Maluku.
Penetapan Desa Adat dan sebagaimana dimaksud di atas, menjadi acuan utama saya adalah Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yaitu:
a. Putusan Nomor 010/PUU-l/2003 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 53 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuantan Singingi, dan Kota Batam;
b. Putusan Nomor 31/PUU-V/2007 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kota Tual Di Provinsi Maluku;
c. Putusan Nomor 6/PUU-Vl/2008 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Buol, Kabupaten Morowali, dan Kabupaten Banggai Kepulauan; dan
d. Putusan Nomor 35/PUU–X/2012 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Menurut saya yang menjadi permasalahan yaitu:
1. Bagaimana agar masyarakat hukum adat mendapatkan pengakuan dan perlindungan?
2. Bagaimana cara mendaftarkan tanah ulayat masyarakat hukum adat?
3. Bagaimana cara menetapkan desa adat masyarakat hukum adat?
Dari permasalahan tersebut dapat kita lihat dasar hukumnya yaitu,
2. UU NO. 5 TAHUN 1960 TENTANG PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA
3. UU NO. 41 TAHUN 1966 TENTANG KEHUTANAN
4. UU NO. 32 2004 TENTANG PEMERINTAH DAERAH
5. UU NO. 6 TENTANG DESA
6. PP NO. 47 TAHUN 2015 PERUBAHAN ATAS PP NO. 43 TAHUN 2014 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UU DESA
7. PERMENDAGRI NO. 52 TAHUN 2014 TENTANG PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN MASYARAKAT HUKUM ADAT
8. PERMENDAGRI NO. 18 TAHUN 2018 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DAN LEMBAGA ADAT DESA ( Penjelasan atas UU No. 6 tahun 2014 tentang desa)
Dengan demikian kita lihat defenisi masyarakat hukum adat yang terdiri dari,
1. Masyarakat Hukum Adat menurut Prof. Hazairin, Guru Besar Hukum Adat Universitas Indonesia adalah kesatuan-kesatuan kemasyarakatan yang mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa, dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya.
2. Kesatuan Masyarakat Hukum Adat adalah sekelompok orang yang memiliki identitas budaya yang sama, hidup secara turun temurun di wilayah geografis tertentu berdasarkan ikatan asal usul leluhur dan/atau kesamaan tempat tinggal, memiliki harta kekayaan dan/atau benda adat milik bersama serta sistem nilai yang menentukan pranata adat dan norma hukum adat sepanjang masih hidup sesuai perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3. Masyarakat Hukum Adat adalah Warga Negara Indonesia yang memiliki karakteristik khas, hidup berkelompok secara harmonis sesuai hukum adatnya, memiliki ikatan pada asal usul leluhur dan atau kesamaan tempat tinggal, terdapat hubungan yang kuat dengan tanah dan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, social, budaya, hukum dan memanfaatkan satu wilayah tertentu secara turun menurun. Dengan defenisi tanah ulayat Hak Ulayat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat atau yang serupa itu adalah hak Kesatuan Masyarakat Hukum Adat yang bersifat komunal untuk menguasai, mengelola dan/atau memanfaatkan, serta melestarikan wilayah adatnya sesuai dengan tata nilai dan hukum adat yang berlaku.
Tanah Ulayat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat adalah tanah persekutuan yang berada di wilayah masyarakat hukum adat yang menurut kenyataannya masih ada.
Wilayah adat adalah tanah adat yang berupa tanah, air, dan atau perairan beserta sumber daya alam yang ada di atasnya dengan batas-batas tertentu, dimiliki, dimanfaatkan dan dilestarikan secara turun-menurun dan secara berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat yang diperoleh melalui pewarisan dari leluhur mereka atau gugatan kepemilikan berupa tanah ulayat atau hutan adat.
PASAL 18B AYAT (2) UUD 1945
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang”
PASAL 33 AYAT (3) UUD 1945
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”
UU NO. 5 TAHUN 1960 TENTANG PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA (UUPA)
Pasal 2 ayat (1) UU NO. 5 TAHUN 1960
2 Pasal 1 ayat (1) Permen ATR/BPN No. 18 tahun 2019
3 Pasal 1 ayat (1) Permendagri No. 52 tahun 2014
4 Pasal 1 ayat (2) Permen ATR/BPN No. 18 tahun 2019
5 Pasal 1 ayat (3) Permen ATR/BPN No. 18 tahun 2019
6 Pasal 1 ayat (2) Permendagri No. 52 tahun 2014
Pasal 2 ayat (4) UU NO. 5 TAHUN 1960
“Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.”
Pasal 3 UU NO. 5 TAHUN 1960
“Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya. masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan- peraturan lain yang lebih tinggi.”
Penjelasan Pasal 3 UUPA dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan "hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu" ialah apa yang di dalam perpustakaan hukum adat disebut "beschikkingsrecht".
UU No.41 tahun 199 tentang Kehutanan
PASAL 4 AYAT (3) UU NO. 41 TAHUN 1999
Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.
PASAL 5 AYAT (4) UU NO. 41 TAHUN 1999
Apabila dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat kembali kepada Pemerintah.
PASAL 67 UU NO. 41 TAHUN 1999
1) Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak: a. melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan; b. melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan c. mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.
2) Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
PENJELASAN PASAL 67 UU NO. 41 TAHUN 1999
1) Masyarakat hukum adat diakui keberadaannya, jika menurut kenyataannya memenuhi unsur antara lain: a. masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechsgemeenschap); b. ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya; c. ada wilayah hukum adat yang jelas; d. ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaat; dan e. masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
2) Peraturan Daerah disusun dengan mempertimbangkan hasil penelitian para pakar hukum adat, aspirasi masyarakat setempat, dan tokoh masyarakat adat yang ada di daerah yang bersangkutan, serta instansi atau pihak lain yang terkait.
3) Peraturan Pemerintah memuat aturan antara lain: a. tata cara penelitian, b. pihak-pihak yang diikutsertakan, c. materi penelitian, dan d. kriteria, penilaian keberadaan masyarakat hukum adat.
UU NO. 31 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAH DAERAH
PASAL 2 AYAT (9) UU NO. 31 TAHUN 2004 “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
PASAL 203 AYAT (3) UU NO. 31 TAHUN 2004
“Pemilihan kepala desa dalam kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan yang diakui keberadaannya berlaku ketentuan hukum adat setempat yang ditetapkan dalam Perda dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah.
PERMENDAGRI NO. 52 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN MASYARAKAT HUKUM ADAT
PASAL 2 PERMENDAGRI NO. 52 TAHUN 2014
“Gubernur dan bupati/walikota melakukan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat”
PASAL 3 PERMENDAGRI NO. 52 TAHUN 2014
“Dalam melakukan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat, bupati/walikota membentuk Panitia Masyarakat Hukum Adat kabupaten/kota”.
1. PERMENDAGRI NO. 52 TAHUN 2014 TENTANG TAHADAPAN PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN
PASAL 4 PERMENDAGRI NO. 52 TAHUN 2014
Pengakuan dan perlindungan sebagaimana dalam Pasal 2 dilakukan melalui tahapan:
a. Identifikasi Masyarakat Hukum Adat;
b. Verifikasi dan validasi Masyarakat Hukum Adat; dan
c. Penetapan Masyarakat Hukum Adat.
PASAL 5 PERMENDAGRI NO. 52 TAHUN 2014
1) Bupati/Walikota melalui Camat atau sebutan lain melakukan identifikasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 huruf a dengan melibatkan masyarakat hukum adat atau kelompok masyarakat.
2) Identifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mencermati:
a. sejarah Masyarakat Hukum Adat;
b. harta kekayaan dan/atau benda-benda adat; dan
C. kelembagaan/sistem pemerintahan adat.
3) Hasil identifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan verifikasi dan validasi oleh Panitia Masyarakat Hukum Adat kabupaten/kota.
4) Hasil verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diumumkan kepada Masyarakat Hukum Adat setempat dalam waktu 1 (satu) bulan.
PASAL 6 PERMENDAGRI NO. 52 TAHUN 2014
1) Panitia Masyarakat Hukum Adat kabupaten/kota menyampaikan rekomendasi kepada Bupati/Walikota berdasarkan hasil verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4).
2) Bupati/walikota melakukan penetapan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat berdasarkan rekomendasi Panitia Masyarakat Hukum Adat dengan Keputusan Kepala Daerah.
3) Dalam hal masyarakat hukum adat berada di 2 (dua) atau lebih kabupaten/kota, pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat ditetapkan dengan Keputusan Bersama Kepala Daerah.
2. PERMENDAGRI NO. 52 TAHUN 2014 TENTANG PENYELESAIAN SENGKETA
PASAL 7 PERMENDAGRI NO. 52 TAHUN 2014
1) Dalam hal Masyarakat Hukum Adat keberatan terhadap hasil verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4), maka masyarakat hukum adat dapat mengajukan keberatan kepada Panitia.
2) Panitia melakukan verifikasi dan validasi ulang terhadap keberatan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
3) Verifikasi dan validasi ulang terhadap keberatan masyarakat, hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali.
PASAL 8 PERMENDAGRI NO. 52 TAHUN 2014
1) Dalam hal Masyarakat Hukum Adat keberatan terhadap Keputusan Kepala Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dan ayat (3), dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara.
2) Penyelesaian sengketa atas pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
3. PERMENDAGRI NO. 52 TAHUN 2014 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
PASAL 9 PERMENDAGRI NO. 52 TAHUN 2014
1) Menteri Dalam Negeri melalui Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa melakukan pembinaan dan pengawasan pelaksanaan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat.
2) Gubernur melakukan pembinaan dan pengawasan pelaksanaan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat kabupaten/kota di wilayahnya.
3) Bupati/Walikota melakukan pembinaan dan pengawasan pelaksanaan pengakuan dan perlindungan kesatuan masyarakat hukum adat di wilayahnya.
PASAL 10 PERMENDAGRI NO. 52 TAHUN 2014
1) Bupati/walikota melaporkan penetapan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat kepada gubernur.
2) Gubernur melaporkan penetapan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat kabupaten/kota di wilayahnya kepada kepada Menteri melalui Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa sebagai bahan pengambilan kebijakan.
TATA CARA PENATAUSAHAAN TANAH ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT (MENGACU BERDASARKAN PERMENDAGRI NO. 52 TAHUN 2014)
PERMEN ATR/BPN NO. 18 TAHUN 2019 TENTANG PELAKSANAAN PENGUASAAN TANAH ULAYAT KESATUAN MASYARAKAT HUKUM ADAT (MHA)
PASAL 2 PERMEN ATR/BPN NO. 18 TAHUN 2019
1) Pelaksanaan Hak Ulayat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat atas Tanah di wilayahnya sepanjang pada kenyataannya masih ada, dilakukan oleh Kesatuan Masyarakat Hukum Adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adat setempat.(*Tim)